Jumat, 31 Mei 2013

56. Adopsi Spirit Taramiti Tominuku Dalam Konsep Pendidikan Kristen





 “Pendidikan Kristen  (PK) di kota Kalabahi sejauh ini masih bercorak tradisional; hanya berorientasi pada sosialisasi pewarisan tradisi; umat dijadikan sebagai objek; sangat kental dengan nuansa konstruktivisme yang bersifat sentralistik (top down) dengan materi pengajaran yang berorientasi dogmatis”

KALABAHI, BANGKIT – Demikian sepenggal materi yang disajikan oleh Pdt. Nicolas S. E. Lumba Kaana, M. Th, dalam rangka seminar yang bertajuk “Taramiti tominuku sebagai pengembangan konsep pendidikan kristiani jemaat dalam konteks masyarakat plural di Kalabahi” yang  diselenggarakan oleh Universitas Tribuana Kalabahi (24/05/12) bertempat di Aula Pola Tribuana Kalabahi dalam rangka memeriahkan wisuda perdana Untrib Alor.
Dalam penyampaian materi, dosen Ilmu Pendidikan Theologi Untrib tersebut mengatakan bahwa akibat sistem PK yang tradisional tersebut jemaat tidak memiliki pilihan lain; jemaat hanya diarahkan dan “dilindungi” dari berbagai ancaman yang ada. Untuk itu Nicolaus Kaana dalam materinya memberikan beberapa alternatif pola pikir yang kiranya menjadi pilihan dalam mengembangkan konsep pendidikan Kristen. Menurutnya untuk memahami akan konsep pendidikan kristen yang baik perlu ada pemahaman dari dua tokoh yaitu Whitehead dan Killen dan De Beer.
Pandangan Whitehead tentang refleksi teologi dalam pelayanan menegaskan tiga mitra percakapan sebagai sumber refleksi teologis yaitu tradisi kristen, pengalaman hidup dan budaya sekitar. Tradisi kristen mencakup kitab suci dan sejarah panjang gereja kristen dengan berbagai interpretasi yang beragam dan berubah – ubah. Menurut Kaana, dalam mempelajari tentang tradisi kristen tentunya kita diperkaya dengan sejumlah perbedaan yang mana akan membuat jemaat semakin menghargai perbedaan sebagai sebuah kekayaan; pluralisme mendapat tempat dalam pembelajaran dan jemaat tidak didoktrin melainkan diberikan kesempatan untuk mempelajari setiap perbedaan yang ada. Poin pembahasan Whitehead berikutnya adalah refleksi teologis yang menggunakan pendekatan pengalaman hidup. Dalam poin ini Whitehead berpandangan bahwa sebuah refleksi dimulai ketika kita menghadapi suatu masalah mendesak yang timbul dalam pengalaman pribadi atau komunal. Dengan demikian menurut Lumba Kaana, sebuah pengalaman akan membentuk pemahaman seseorang termasuk soal iman. Hal ketiga adalah peran budaya sekitar. Dalam poin ini Lumba Kaana berpendapat bahwa semua orang tentunya memiliki tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dan tentunya setiap kearifan lokal tersebut memiliki makna – makna tertentu. Sebuah komunitas iman menurut Kaana harus dapat menggunakan sumber – sumber budaya dengan baik. Caranya adalah dengan memanfaatkan berbagai informasi dari sumber – sumber budaya itu secara kritis.
Berdasarkan ketiga pemahaman ini apabila disimpulkan maka dapat dikatakan bahwa pendidikan kristen sebagai pelayanan gereja di tengah masyarakat setempat harus terbuka untuk mempercakapkan pengalaman hidup di tengah masyarakat setempat dalam terang tradisi kristen dan dalam kepekaan terhadap budaya sekitar. Sesuai situasi pelayanan setempat, percakapan pada jemaat yang berbeda akan sampai pada kesimpulan yang berbeda, dan tentunya dalam perbedaan itu akan menjadi varian – varian yang mencerminkan keragaman yang kaya dalam pengalaman kristen tentang firman dan kehendak Allah.
Sementara itu Killen dan De Beer dalam pandangannya tentang refleksi teologis untuk pertumbuhan dan pendewasaan iman membagi dalam tiga sudut pandang, yaitu : sudut pandang kepastian, sudut pandang keyakinan diri dan sudut pandang eksplorasi. Sudut pandang kepastian bersifat eksklusif; hanya mementingkan iman dan menutup diri terhadap keyakinan lain; menganggap bahwa kita yang paling benar dan orang lain salah. Akibatnya terjadi penyederhanaan kompleksitas pengalaman dengan seperangkat keyakinan yang dijadikan mutlak, tidak berubah dan benar. Pandangan berikutnya adalah sudut pandang keyakinan diri. Dalam sudut pandang ini menurut Killen, terjadi dalam situasi dimana kita merasa tidak berdaya menghadapi sejumlah kompleksitas kehidupan yang mana rasanya antara adat istiadat dan pandangan agama rasanya tidak relevan dan tidak bisa diandalkan, sehingga kita kehilangan pegangan. Pada saat orang merasa seeprti itu ia akan lebih yakin akan pendapat dirinya sendiri dan pada pengalaman yang pernah ia dapatkan. Baginya, tradisi hanya untuk mendukung apa  yang sedang ia pikirkan. Sudut pandang ketiga yaitu sudut pandang eksplorasi, dan sudut pandang ini merupakan jalan alternatif. Secara sederhana dapat dijabarkan bahwa ketika kita bingung dengan apa yang kita alami dan bingung akan acara terbaik  untuk menanggapi situasi yang kita hadapi, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah kita masuk ke dalam pengalaman kita dan menggambarkan dari sisi bukti inderawi, maka kita akan menemukan gerakan menuju wawasan; gerakan yang demikian mengubah cara kita memahami dunia. Lebih dalam lagi menurut Killen dan De Beer ada lima langkah untuk memahami hal ini, yaitu : memasuki pengalaman, menemukan perasaan, memunculkan gambaran, mencetuskan wawasan dan menghasilkan tindakan.

Adopsi Spirit Taramiti Tominuku Dalam Konsep Pendidikan Kristen

Taramaiti Tominuku mengandung makna gotong royong, musyawah, duduk bersama dan ajakan untuk berdamai. Belajar dari kitab Markus 7 : 24 – 30  yang mengisahkan pertemuan Yesus dengan seorang Siro Fensisia bisa dimaknai sebagai model belajar bersama dalam konteks kemajemukan ethnik dan agama. Dalam cerita itu mengisahkan poin yang sama dengan makna yang dikandung dalam istilah Taramiti Tominuku; ada perjumpaan antar pribadi yang berbeda ethnik agama dan gender, terjadi musyawarah antara kedua pihak, percakapan berlangsung dalam suasana kemitraan dan kemudian percakapan berlanjut pada pemberdayaan; dikatakan pemberdayaan karena bukan Yesus melakukan sesuatu saat itu untuk menyembuhkan namun karena iman perempuan itu; ada sesuatu potensi yang ia maksimalkan sehingga mendatangkan perubahan.
Rujukan ini menurut Lumba Kaana kiranya menjadi konsep yang perlu diterapkan dalam rangka pengembangan  konsep pendidikan Kristen di Alor. Dalam konteks masyarakat plural, jemaat harus bisa merasa nyaman terhadap suasana hidup saling berdampingan antar etnik, agama dan denominasi. Dalam kehidupan yang plural tersebut tentunya akan muncul percakapan – percakapan secara pendekatan kekeluargaan dan tentunya akan berdampak pada munculnya sebuah kerjasama dan pemberdayaan dalam relasi sosial. (b1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar