Rabu, 29 Mei 2013

27. Sepenggal Cerita Pahlawan Emansipasi




KALABAHI, BANGKIT - Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Jepara,Jawa Tengah, 21 April 1879.Kartini merupakan anak seorang bangsawan yang masih memegang teguh adat istiadat. Setelah lulus sekolah dasar, ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Kartini dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Meski ia ingin menentang, Kartini yang telah berusia remaja itu terpaksa menerima keadaan. Karena ia tidak menginginkan kalau ia disebut sebagai anak durhaka.
                Kartini mengumpulkan berbagai jenis buku termasuk buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya, membacanya, hanya untuk menghilangkan kesedihannya, di temani Simbok (pembantunya), seriap hari di taman rumah. Membaca kemudian menjadi kegemarannya. Kartini juga melahap habis semua surat kabar yang ada di rumahnya. Artinya, Tiada hari tanpa membaca. Aktivitas itu didukung oleh keluarganya. Ayahnya kerap membantu Kartini bila Kartini mengalami kesulitan memahami pesan-pesan yang terdapat dalam buku. Melalui buku-buku itulah Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa, khususnya perempuan Belanda yang memang saat itu banyak tinggal di Indonesia. Maklum, Indonesia ketika itu dijajah Belanda. Kartini kemudian berkeinginan untuk memajukan perempuan Indonesia. Bagi Kartini, perempuan tidak hanya di dapur, tetapi harus memiliki pengetahuan.
                Kartini yang telah memiliki pengetahuan, mengumpulkan sejumlah perempuan yang bisa ia jangkau. Ia kemudian mengajarkan kepada mereka agar mereka bisa menulis sekaligus memiliki berbagai pengetahuan lainnya.
                Meski ia telah menemukan kesibukan, membaca berbagai buku terus ia lakukan. Selain itu, ia juga menulis surat kepada teman-temannya di Belanda, seperti Mr J.H. Abendanon. Isi suratnya berbeda-beda. Ada surat tentang keadaannya yang terikat oleh adat istiadat, ada juga menyangkut pendidikan. Khusus pendidikan, Kartini meminta kepada Abendanon untuk mencari celah agar Kartini memperoleh beasiswa sehingga Kartini dapat bersekolah di Belanda. Memang harapannya terkabul, tapi sebelum ia bersekolah di Belanda, ia telah dinikahkan orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat.
                Kartini mengikuti suaminya, yang adalah Bupati Rembang, ke daerah Rembang. Gagasan-gagasan Kartini diterima suaminya. Kartini kemudian mendirikan sekolah khusus perempuan. Dalam waktu singkat, ia membuka sekolah yang sama di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolahnya Sekolah KartiniĆ¢. Ia menjadi tenar. Tapi itu tidak membuatnya sombong. Ia tetap santun dan menghormati keluarga serta sesama. Ia juga membedakan antara yang miskin dan kaya.
Kartini meninggal tanggal 17 September 1904 setelah melahirkan putra pertamanya. Kartini saat itu berusia 25 tahun. Pasca kematiannya, Mr J.H Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini yang pernah dikirim Kartini kepadanya, dan beberapa teman lain di Eropa. Kumpulan surat-surat itu kemudian dibukukan dan diberi judul Door Duisternis Tot Licht artinya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kontroversi Kartini
Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini untuk dirayakan telah diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Bagi masyarakat yang tidak menyetujui, memilih memadukan perayaan Kartini dengan perayaan Hari Ibu, 22 Desember. Bagi mereka, agar tidak pilih kasih dengan sejumlah pahlawan perempuan Indonesia lainnya, maka dua perayaan dipadukan dalam satu tanggal yaitu 22 Desember.
                Sementara itu, beberapa opini yang muncul bahwa selain Kartini, masih terdapat pahlawan perempuan yang kehebatanya melebihi Kartini. Bagi mereka, lingkup perjuangan Kartini hanyalah di Jepara dan Rembang. Selain itu, Kartini tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Ada juga berbagai alasan lainnya. Namun, bagi yang mendukung perjuangan Kartini, mengatakan, Kartini merupakan pejuang emansipasi, yang berupaya terus menerus mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia. Kartini dianggap tokoh nasional karena gagasan-gagasannya adalah untuk kepentingan perempuan bangsa. Karena itu, Kartini didudukan pada tempat yang tinggi. Meski Sumpah Pemuda belum dicetuskan saat itu, pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahirannya atau tanah Jawa saja. Kartini dianggap dianggap telah memiliki kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya dicetuskan oleh Sumpah Pemuda.
Terlepas dari pro kontra tersebut, perlu disinggung pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia seperti Cut NyaĆ¢ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, dan Christina Martha Tiahohu. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Manado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani. Kartini adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi perempuan, upaya awalnya itu kini membuat kaum perempuan di negeri kita telah menikmati persamaan hak. Perjuangan memang belum berakhir. Di era globalisasi ini masih banyak terjadi penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Perlu diingat, Kartini hidup pada akhir abad 19 sampai awal abab 20. Pada saat itu, perempuan belum diberikan kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi seperti yang dialami laki-laki. Perempuan juga tidak diizinkan menentukan atau mendapatkan jodoh sendiri. Kondisi itulah yang tidak diterima Kartini. Kartini kemudian berjuang untuk membebaskan perempuan dari ketertinggalan itu. (sumber:http.kolom-biografi.blogspot.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar