“Pendidikan Kristen (PK) di kota Kalabahi sejauh ini masih
bercorak tradisional; hanya berorientasi pada sosialisasi pewarisan tradisi;
umat dijadikan sebagai objek; sangat kental dengan nuansa konstruktivisme yang
bersifat sentralistik (top down)
dengan materi pengajaran yang berorientasi dogmatis”
KALABAHI, BANGKIT – Demikian sepenggal materi yang disajikan oleh Pdt.
Nicolas S. E. Lumba Kaana, M. Th, dalam rangka seminar yang bertajuk “Taramiti
tominuku sebagai pengembangan konsep pendidikan kristiani jemaat dalam konteks
masyarakat plural di Kalabahi” yang diselenggarakan
oleh Universitas Tribuana Kalabahi (24/05/12) bertempat di Aula Pola Tribuana
Kalabahi dalam rangka memeriahkan wisuda perdana Untrib Alor.
Dalam penyampaian materi, dosen Ilmu Pendidikan Theologi Untrib tersebut
mengatakan bahwa akibat sistem PK yang tradisional tersebut jemaat tidak
memiliki pilihan lain; jemaat hanya diarahkan dan “dilindungi” dari berbagai
ancaman yang ada. Untuk itu Nicolaus Kaana dalam materinya memberikan beberapa
alternatif pola pikir yang kiranya menjadi pilihan dalam mengembangkan konsep
pendidikan Kristen. Menurutnya untuk memahami akan konsep pendidikan kristen
yang baik perlu ada pemahaman dari dua tokoh yaitu Whitehead dan Killen dan De
Beer.
Pandangan Whitehead tentang refleksi teologi dalam pelayanan menegaskan
tiga mitra percakapan sebagai sumber refleksi teologis yaitu tradisi kristen,
pengalaman hidup dan budaya sekitar. Tradisi kristen mencakup kitab suci dan
sejarah panjang gereja kristen dengan berbagai interpretasi yang beragam dan
berubah – ubah. Menurut Kaana, dalam mempelajari tentang tradisi kristen
tentunya kita diperkaya dengan sejumlah perbedaan yang mana akan membuat jemaat
semakin menghargai perbedaan sebagai sebuah kekayaan; pluralisme mendapat
tempat dalam pembelajaran dan jemaat tidak didoktrin melainkan diberikan
kesempatan untuk mempelajari setiap perbedaan yang ada. Poin pembahasan
Whitehead berikutnya adalah refleksi teologis yang menggunakan pendekatan
pengalaman hidup. Dalam poin ini Whitehead berpandangan bahwa sebuah refleksi
dimulai ketika kita menghadapi suatu masalah mendesak yang timbul dalam
pengalaman pribadi atau komunal. Dengan demikian menurut Lumba Kaana, sebuah
pengalaman akan membentuk pemahaman seseorang termasuk soal iman. Hal ketiga
adalah peran budaya sekitar. Dalam poin ini Lumba Kaana berpendapat bahwa semua
orang tentunya memiliki tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dan
tentunya setiap kearifan lokal tersebut memiliki makna – makna tertentu. Sebuah
komunitas iman menurut Kaana harus dapat menggunakan sumber – sumber budaya
dengan baik. Caranya adalah dengan memanfaatkan berbagai informasi dari sumber
– sumber budaya itu secara kritis.
Berdasarkan ketiga pemahaman ini apabila disimpulkan maka dapat dikatakan
bahwa pendidikan kristen sebagai pelayanan gereja di tengah masyarakat setempat
harus terbuka untuk mempercakapkan pengalaman hidup di tengah masyarakat
setempat dalam terang tradisi kristen dan dalam kepekaan terhadap budaya
sekitar. Sesuai situasi pelayanan setempat, percakapan pada jemaat yang berbeda
akan sampai pada kesimpulan yang berbeda, dan tentunya dalam perbedaan itu akan
menjadi varian – varian yang mencerminkan keragaman yang kaya dalam pengalaman
kristen tentang firman dan kehendak Allah.
Sementara itu Killen dan De Beer dalam pandangannya tentang refleksi
teologis untuk pertumbuhan dan pendewasaan iman membagi dalam tiga sudut
pandang, yaitu : sudut pandang kepastian, sudut pandang keyakinan diri dan
sudut pandang eksplorasi. Sudut pandang kepastian bersifat eksklusif; hanya
mementingkan iman dan menutup diri terhadap keyakinan lain; menganggap bahwa
kita yang paling benar dan orang lain salah. Akibatnya terjadi penyederhanaan
kompleksitas pengalaman dengan seperangkat keyakinan yang dijadikan mutlak,
tidak berubah dan benar. Pandangan berikutnya adalah sudut pandang keyakinan
diri. Dalam sudut pandang ini menurut Killen, terjadi dalam situasi dimana kita
merasa tidak berdaya menghadapi sejumlah kompleksitas kehidupan yang mana
rasanya antara adat istiadat dan pandangan agama rasanya tidak relevan dan
tidak bisa diandalkan, sehingga kita kehilangan pegangan. Pada saat orang
merasa seeprti itu ia akan lebih yakin akan pendapat dirinya sendiri dan pada
pengalaman yang pernah ia dapatkan. Baginya, tradisi hanya untuk mendukung
apa yang sedang ia pikirkan. Sudut
pandang ketiga yaitu sudut pandang eksplorasi, dan sudut pandang ini merupakan
jalan alternatif. Secara sederhana dapat dijabarkan bahwa ketika kita bingung
dengan apa yang kita alami dan bingung akan acara terbaik untuk menanggapi situasi yang kita hadapi,
maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah kita masuk ke dalam pengalaman
kita dan menggambarkan dari sisi bukti inderawi, maka kita akan menemukan
gerakan menuju wawasan; gerakan yang demikian mengubah cara kita memahami
dunia. Lebih dalam lagi menurut Killen dan De Beer ada lima langkah untuk
memahami hal ini, yaitu : memasuki pengalaman, menemukan perasaan, memunculkan
gambaran, mencetuskan wawasan dan menghasilkan tindakan.
Adopsi Spirit Taramiti Tominuku Dalam Konsep Pendidikan
Kristen
Taramaiti Tominuku mengandung makna gotong royong, musyawah, duduk bersama
dan ajakan untuk berdamai. Belajar dari kitab Markus 7 : 24 – 30 yang mengisahkan pertemuan Yesus dengan
seorang Siro Fensisia bisa dimaknai sebagai model belajar bersama dalam konteks
kemajemukan ethnik dan agama. Dalam cerita itu mengisahkan poin yang sama dengan
makna yang dikandung dalam istilah Taramiti Tominuku; ada perjumpaan antar
pribadi yang berbeda ethnik agama dan gender, terjadi musyawarah antara kedua
pihak, percakapan berlangsung dalam suasana kemitraan dan kemudian percakapan
berlanjut pada pemberdayaan; dikatakan pemberdayaan karena bukan Yesus
melakukan sesuatu saat itu untuk menyembuhkan namun karena iman perempuan itu;
ada sesuatu potensi yang ia maksimalkan sehingga mendatangkan perubahan.
Rujukan ini menurut Lumba Kaana kiranya menjadi konsep yang perlu
diterapkan dalam rangka pengembangan
konsep pendidikan Kristen di Alor. Dalam konteks masyarakat plural,
jemaat harus bisa merasa nyaman terhadap suasana hidup saling berdampingan
antar etnik, agama dan denominasi. Dalam kehidupan yang plural tersebut
tentunya akan muncul percakapan – percakapan secara pendekatan kekeluargaan dan
tentunya akan berdampak pada munculnya sebuah kerjasama dan pemberdayaan dalam
relasi sosial. (b1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar